Mambaca-baca
Di Mandar, tradisi yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadhan
adalah kegiatan kenduri. Acara dilangsungkan tepat di malam pertama
bulan Ramadhan. Tradisi ini lebih kental di masyarakat Mandar yang
berada di pedalaman, misalnya daerah pegunungan. Kalau yang di
kota-kota, misalnya di Tinambung, bisa dikatakan tidak semua rumah
mengadakan “baca-baca”.
Buka puasa
Paling tidak ada tiga bentuk buka puasa selama Ramadhan di kampung
kita, Tinambung. Pertama di rumah, kedua di masjid, ketiga pada acara
buka puasa. Yang dimaksud dengan yang ketiga adalah bila ada yang punya
hajatan, misalnya organisasi profesi, parpol, sekolah, lembaga
pemerintah, maupun rumah tangga yang punya kemampuan ekonomi untuk
potong banyak ayam, siapkan kue lebih banyak dari biasanya, dan
sebagainya.
Buka puasa di rumah tidak lepas dari kue atau makan-minuman yang manis. Pallebutung, pisang ijo, cendol, agar, kue lapis, dan makanan yang jamak di Mandar silih berganti di dapur rumah orang-orang Mandar.
Buka puasa di masjid tidak kalah menariknya. Perlu dibedakan buka
puasa di masjid yang harian dengan yang diadakan khusus. Kalau yang
harian, pelaksanaannya cukup bersahaja. Dihadiri beberapa takmir dan
jamaah-jamaah shalat Maghrib. Waktu mara’dia kita masih hidup, beliau lebih banyak buka di masjid dibanding di rumahnya.
Lalu dari mana kue-kue berasal? Kue secara bergilir dibawa oleh
ibu-ibu rumah tangga yang bermukim di sekitar masjid. Karena digilir,
rasa dan bentuk kue cukup beragam. Enak kan?
Beda dengan kota, hidangan buka puasanya ditanggung oleh masjid.
Menunya mulai dari nasi bungkus, es buah hingga nasi kotak. Tapi beda
tiap masjid. Masjid “kaya”, misalnya Masjid Raya Makassar, membuat paket
makanan dalam jumlah banyak. Kenyamanan di masjid tersebut membuat
banyak ummat yang beribadah di sana, termasuk berbuka.
Jalan-jalan subuh
Selesai membaca do’a, biasanya jamaah tidak langsung pulang ke rumah,
kecuali yang ingin melanjutkan tidurnya. Aktivitas yang mungkin bisa
dianggap khas bulan Ramadhan di Mandar, khususnya Tinambung, adalah
jalan-jalan subuh. Jamaah-jamaah dari beberapa masjid, misalnya
Tingga-tinggas, Kandemeng, Sepang, dan Tinambung paling tidak bertemu di
dua titik. Kalau bukan di kandang, di jembatan Sungai Mandar.
Kalau jamaah dari Al Hurriyah Tinambung, “rutenya”: kandang, belok
kanan ke arah jembatan, tiba di ujung jembatan balik untuk kemudian
pulang ke rumah. Biasa juga ada yang langsung ke arah Puskesmas. Karena
jika jalannya lambat dan biasa singgah beberapa saat di jembatan,
perjalanan relatif lama.
Juga ada “rute” lain, tapi yang memilih biasanya orang tua. Yaitu ke
arah Kandemeng atau menuju lapangan. Ya, rute ini lebih sepi, cocok
untuk orang-orang tua.
Anak-anak muda yang menunggu-nunggu Ramadhan. Apalagi kalau bukan mangodo’,
meski tidak seagresif di luar bulan Ramadhan. Paling tidak lihat
cewek-cewek lalu lalang di depan, saat berdiri di trotoar jembatan
Sungai Mandar.
Sudah menjadi anggapan umum bahwa di awal dan akhir Ramadhan pasti
banyak yang jalan-jalan subuh, tapi kalau berada di tengah Ramadhan,
jalanan cenderung sepi meski tidak sesepi di luar Ramadhan.
Awal ramai, tengah sepi, akhir ramai (lagi)
“Peserta” jalan-jalan subuh yang menurun sepertinya berkorelasi
dengan jumlah jamaah di masjid, mulai dari shalat Dhuhur sampai shalat
sunnah tarawih/witir. Awalnya ada beberapa saf, tapi menjelang tengah
Ramadhan, saf “maju ke depan”. Untung menjelang akhir saf “mundur” lagi,
jadi “tidak apa-apa”. Juga tidak perlu “malu”, hampir semua
masjid/daerah di Indonesia demikian.
Celengan
Di Masjid Al Hurriyah Tinambung, pembawa celengan kayaknya tidak bisa
dipisahkan dari dinamika masjid terbesar di Kecamatan Tinambung ini.
Peran pembawa celengan cukup besar artinya di bulan Ramadhan dan pada
saat shalat Id. Bila di luar Ramadhan hanya ada satu petugas pembawa
celengan, di Ramadhan bisa sampai 4-5 orang.
Oh iya, hasil celengan juga punya kesamaan dengan “peserta” jalan
subuh dan jumlah jamaah. Jumlah celengan yang berhasil dihimpun
cenderung besar di awal, sedikit di tengah. Akhir Ramadhan banyak lagi,
karena banyak jamaah di malam-malam ganjil.
Kalau dibandingkan dengan Yogya dan beberapa masjid di Makassar,
pengedaran celengan di Tinambung beda. Di Yogya, celengannya berjalan
“sendiri” alias diopor-opor jamaah. Ini bisa dilakukan sebab jamaah
tidak berjauhan, mereka duduk berdampingan. Di Tinambung jangan
bayangkan itu bisa dilakukan, jadi memang harus ada yang mengedarkan
celengan.
MC dan penceramah
Masih di masjid kebanggaan kita, Al Hurriyah Tinambung, kesuksesan
acara ibadah di masjid tidak terlepas dari peran MC alias pembawa acara
dan penceramah. Penceramah sudah jelas perannya, jadi tidak perlu
dibahas panjang di tulisan ini.
MC menarik sebab 11 bulan yang lain tidak ada MC-nya. MC tampil di
depan jamaah beberapa saat menjelang shalat Isya. Si MC, biasanya
dibawakan anak-anak muda, mengumumkan pemimpin shalat Isya, tarawih, dan
witir; jumlah celengan malam sebelumnya; petugas pembawa celengan, dan
penceramah “malam ini” dan “esok”.
Passalawa’
Kekhasan Ramadhan yang lain di masjid kita adalah adanya passalawa’. Setiap dua rakaat, tim passalawa’
yang dibawakan oleh anak-anak remaja, membacakan shalawat. Tim salawat
mudah dikenali, mereka seragam bajunya. Ramadhan kali ini beda, pakai
baju batik. Dulu kattiung atau baju arab.
Salah satu anggota tim passalawa’ yang bersuara keras dan indah suaranya menjadi “pengeras suara” imam, misalnya ketika takbir, sujud, dan salam.
Passalawa’ bertugas penuh di bulan Ramadhan. Selain dapat amal,
mereka juga dapat berkah dunia. Bukan gaji, tapi semacam ungkapan terima
kasih dari jamaah.
Tarawih
Di masjid kita, tarawihnya 20 rakaat plus witir 3 rakaat. Ada
beberapa jamaah yang hanya sampai tarawih delapan dan lanjutkan witir di
rumah.
Tapi kita jangan kaget bila ke Yogya. Di sana ada banyak masjid yang
hanya sampai tarawih delapan plus witir. Rakaatnya pun tidak dua-dua,
tapi empat-empat. Tim passalawa’ pun tidak ada. Shalawat kepada Nabi Muhammad dilakukan semua jamaah dengan bimbingan imam.
Penjual kue
Ramadhan bukan saja bulan ibadah. Ada beberapa saudara kita juga
memanfaatkannya untuk menambah penghasilan. Hitung-hitung ada uang untuk
membelikan anak baju dan sandal baru.
Selama Ramadhan, penjual kue dan makanan tumbuh di mana-mana,
khususnya di sekitar masjid, meski tidak seperti jamur di musim hujan.
Biasanya menu yang dijual adalah jagung bakar, kacang, mie, pallubutung, sara’ba,
dan lain-lain. Warung biasanya ramai sebelum shalat Isya, setelah
tarawih delapan, dan setelah ibadah di masjid selesai. Yang meramaikan
biasanya anak-anak kecil dan remaja.
Yang menemani makan sahur
Kalau tidak salah, sudah 35 tahun Kyai H. Abdul Rahman Wahid menemani
orang-orang beriman di kawasan timur Indonesia makan sahur lewat acara
radio “Dialog Bulan Ramadhan”. Acara disiarkan pukul 03.15 WITA dinihari
dengan durasi 30 menit.
Tiga dekade menemani, tapi orang lebih mengenal sapaannya, yaitu “Pak
Kyai”, bukan nama lengkap di atas. “Pak Kyai” bertahan begitu lama
dengan mitra silih berganti. Yang paling berkesan di hati pemirsa adalah
Kyai H. Syamsumarlin BA atau lebih akrab dipanggil “Daeng Naba”.
Masyarakat Mandar cukup menggandrungi acara RRI Makassar itu.
Berbagai macam pertanyaan masuk ke saluran telepon atau lewat surat.
Salah satu daya tarik acara ini adalah cukup merakyat dan ada nuansa
humornya, tapi tidak vulgar, sebagaimana acara-acara di TV sekarang ini.
Meski “Pak Kyai dan Daeng Naba” tergusur oleh acara-acara Ramadhan di
tivi-tivi, namun di hati masyarakat Mandar (khususnya generasi 25 tahun
ke atas) acara itu takkan terlupakan!
“Pembue’o miapi !!!”
Judul bagian ini tak pernah lagi menggema di sekeliling Masjid Raya
Al Hurriyah Tinambung sejak meninggalnya Kama’ Sako’. Beliau adalah
takmir masjid di era Imam Janggo’ (Kyai H. Alwi).
Masih terngiang di telinga kita sahutan-sahutan: “Sahuuur … sahuuur …
sahuuur …pembue’o miapi … sappulo pai meni’ tannalambi’ pukul dua.
Sahuuur … sahuuur … sahuuur … alloang ao. Sahuuur … nasamba’iao gimbal”
(Sahur, bangunlah memasak, sepuluh menit lagi jam dua. Sahur, jangan
sampai kesiangan. Sahur, awas beduk akan menendangmu). Kemudian ditutup
dengan kalimat unik dan khas: “Saya pulang di rumah” (bukan “Saya pulang
ke rumah”).
Ketulusan, loyalitas, pengabdian, dan kekuatan iman diramu jadi satu
dalam jiwa Kama’ Sako’. Puluhan tahun, sejak zaman belum ada mic
(pengeras suara) hingga tubuhnya tak mampu lagi dibawa ke masjid,
beliau tak bosan menyeru umat muslim untuk bangun mempersiapkan sahur.
Mengenang kembali ramadhan-ramadhan dulu membuat hati rindu suara
khas Kama’ Sako’. Beliau meninggalkan masyarakat Mandar di Tinambung
pertengahan 90-an lalu. “Kama’ Sako’, salama’ lao ku’burna!” (Kama’
Sako’ semoga selamat dikuburnya). Kalau ada yang menambahkan, khususnya
teman-teman dari Tinambung, pasti lebih menarik dan lebih lengkap.
sumber : http://ridwanmandar.com
0 komentar:
Posting Komentar